Zuhair Bin Abi Sulma
“Dia (zuhair) perkataannya tidak berkepanjangan
bagai agam, menghindari penggunaan kata-kata kasar, dan hanya memuji yang patut
dipuji...” (Umar Bin Khatab)
Prolog
Disiplin
ilmu tidak akan terlepas dari sejarah. Dewasa ini, beragam sains yang
berkembang juga banyak merujuk ke masa lalu. Dengan demikian, sejarah sering
dijadikan titik tolak dalam mendalami
terutama menguasai bidang tertentu. Menekuni sejarah berarti mempelajari
kebudayaan suatu bangsa pada zaman tertentu dengan lingkup sosial yang mempengaruhi. Maka untuk menelisik sejarah bangsa arab,
kita harus merujuk pada peninggalan dari zaman tersebut baik berupa prasasti
atau riwayat.
Diantara
komponen yang paling berpengaruh adalah syair. Bahkan para ulama sepakat,
bahkan seorang peneliti tidak akan mampu mengeksplorasi keadaan pada masa
jahiliyah selama ia tidak mampu memahami syair. Demikian, syair adalah replika
kehidupan yang paling apik daripada
prasasti lainnya. Syair terlahir sebagai karya seni, layaknya karya seni
lainnya tidak hanya dinilai dari ‘bungkus’ . Abu Muhamad al-Jamahi, menganalogikan essensi syair dengan permata,
nilai jual yang dihasilkan bukan didapatkan dari bentuk luarnya saja tapi dari
unsur-unsur yang dikandung permata tersebut. [2]
Masa Jahiliyah terbagi menjadi dua bagian:
jahiliyah pertama, yaitu fase prasejarah sampai 5M, dan jahiliyah kedua, yaitu
abad ke 6-7 M atau dua abad sebelum nabi Muhamad diutus. Masa jahiiyah yang
dimaksud dalam pembahasan ini adalah masa jahiliyah kedua. Demikian karna
peradaban pada masa pertama belum bisa dijangkau. Bangsa arab juga dibagi
menjadi dua bagian : bangsa Arab utara dan bangsa Arab selatan. Bangsa Arab
utara merupakan keturunan Ismail bin Ibrahim AS yang umumnya disebut dengan kaum
Adnan. sedangkan bangsa Arab selatan atau yang bermukim di Yaman, keturunan
bani Qahthan. Dari kedua bagian inti ini kembali terpecah dalam beberapa
kabilah. [3]
A. Nasab dan
Keluarganya
Memahami
kehidupan penyair adalah jalan utama untuk memahami syair. Demikian karna
tradisi bangsa Arab ketika itu, menggambarkan sesuatu yang ada disekitarnya.
Tak ayal, lingkungan mereka hidup banyak mempengaruhi kelahiran syair. Faktor
keluarga terutama. Bahkan penyair dianggap ‘anak zaman’ ; melukiskan keadaan
hidup di zamannya. Selain itu, syair juga senjata ampuh suatu kabilah, dan melawan
musuh mereka sebagai pertahanan dari umpatan musuh hingga untuk memuliakan ras
mereka. Dengan demikian, pesta yang mereka gelar pada saat kelahiran penyair
menjadi maklum adanya. Ungkapan kegembiraan dengan kelahiran pahlawan yang akan
membela kaumnya, dengan senjata yang paling berbahaya, yaitu lisan.
Zuhair bin
Rabi’ah bin Rayyah bin Qurah bin Harits
bin Muzanni bin Tsa’labah bin Tsaur bin Harmah bin Ashom bin Utsman bin Amru
bin Udda bin Thabihah bin Ilyas[4]
bin Mudhol bin Nizar bin Ma’adi bin Adnan.[5]
Rabi’ah menikah dengan wanita dari bani Suhaim dan masih mempunyai ikatan nasab
dengan bani Fahr bin Murah bin Auf bin Sa’ad bin Dzibyan. Zuhair terlahir di
tengah kabilah bani Mazinah yang
bermukim disekitar Madinah. Mazinah
diambil dari nama salah seorang puteri dari Kalb bin Wabrah dan ibu dari Amru bin Udd.
Meski
terlahir ditengah kabilah bani Mazinah tapi Zuhair tumbuh, ia besar dipemukiman
bani Abdullah bin Ghatafan di daerah Najd. Hal Demikian terjadi karena
perselisihan keluarga dengan pamannya As’ad bin Ghadir bin Murah bin Auf bin
Saad bin Dzibyan. Berawal ketika Rabiah, As’ad dan puteranya Ka’ab bin As’ad kembali
dari peperangan melawan kabilah Tha’i dengan membawa pulang banyak harta.
Rabiah meminta bagian untuk keluarganya, As’ad mengaabaikannya. Bahkan dengan
kejam memaksa mereka mereka untuk pergi dengan hanya menaiki satu kedelai saja.
Intimidasi yang dilakukan As’ad bin Ghadir adalah pemicu utama yang membuat
Rabiah beserta keluarganya meninggalkan bani Mazinah dan bermukim dengan bani
Ghatafan. [6]
Rabi’ah
tidak berumur panjang dan meninggal sebelum Zuhair lahir. Meninggalkan asuhan Zuhair
beserta kedua saudaranya : Sulma dan Khansa, kepada pamannya Basyamah bin
Ghadir. Seorang yang terpandang dikaumnya. Setiap tindakan yang akan dilakukan
oleh kaumnya selalu meminta pertimbangan darinya. Pasca wafat Rabi’ah, ibunya menikah dengan Aus
bin Hajar, seorang panyair arab yang terkenal dari bani Tamim.
Basyamah dan
Aus bin Hajar banyak berpengaruh dalam perkembangan Zuhair dalam syairnya. Ia
melihat pamannya sangat mendalami syair, dan terpicu untuk mempelajari syair darinya.
Dengan meriwayatkan syair dari Aus, ia sedikit banyak terpengaruh dari
syairnya. Selain Basyamah dan Aus, ia juga berguru pada Thufail al-Ghanawi,
yang terkenal dengan syair-syair deskriptif etik, yang melukiskan keadaan
sekitarnya, baik hewan atau tempat. Darinya Zuhair mempelajari keindahan
sastra, ‘penjernihan’ deskripsi dan juga seni mengolah kata.[7]
Basyamah
yang tidak mempunyai anak. Sebelum ia wafat, ia membagikan kekayaannya
pada seluruh keluarga besarnya. Ketika Zuhair menghampirinya, ia mewasiatkannya
tentang warisan yang ia tinggalkan untuk zuhair yang menurutnya lebih penting
dari harta yaitu syair.Selain syair, ia juga mewarisi beberapa sifat dari
pamannya. Kesabaran, kerendahan hati hingga bijaksana. Sifat-sifat tersebut
tentu membuatnya mewarisi kemuliaan sebagaimana yang dilakukan pamannya.
Sifatnya yang dermawan semakin membuat kaumnya segan kepadanya.
Sebelum
terkenal sebagai seorang penyair, zuhair mengalami goncangan kepercayaan diri
dalam hidupnya. Zuhair bahkan sempat bertanya-tanya ke pamannya, kenapa ia
mempercayakan dirinya untuk menjadi penyair, demikian karna ia mewarisi
kemampuan dari pendahulunya di kabilah Bani Muzaynah[8]. Keadaan
keluarga Zuhair yang tidak bisa ditemukan pada kabilah lainnya. Kehidupannya
selalu dikelilingi syair. Ayahnya,Rabiah bin Rayyah, adalah penyair. Pamannya,Basyamah bin Ghadir, juga penyair. Ayah
tirinya, Aus bin Hajar, penyair bani Tamim. Kedua saudaranya,Khansa dan Sulma,
penyair.Anaknya, Kaab dan Bujair bin Zuhair, penyair islam yang mashur dengan
kasidahnya. Hingga cucunya Aqobah bin Ka’ab juga penyair. Demikian seolah syair adalah bagian inti dari
keluarga. Selalu diwarisi disetiap generasi.
B. Kilas pandang Bahasa Arab
Bahasa adalah rangkaian kata yang
digunakan untuk mengungkapkan suatu
keinginan. Dalam hal ini bahasa adalah kebutuhan pokok dalam berinteraksi di
masyarakat. Oleh karena demikian, manusia menjadi lakon utama dalam penyebaran
hingga perkembangan bahasa. Merujuk ke beberapa abad sebelum masehi, bahasa
yang ada pada saat itu tentu berbeda dengan yang berkembang saat ini. Bila
ditabrakan dengan kode etik yang berlaku, segala sesuatu bermula dari hal yang
paling sederhana hingga terus
berkembang.
Bahasa yang berkembang saat ini
merujuk kepada dua kaum yang telah menyebar pada saat itu yaitu: kaum ariyah
atau yafidziyah dan kaum Samiyah. Kaum Yafidziyah dinisbatkan ke
Yafidz bin Nuh AS, dan terbagi menjadi 2 bagian : bagian utara yang meliputi
Eropa dan bagian Selatan yang meliputi Asia Selatan yaitu sangsakerta dan
hindi. Adapun kaum Samiyah dinisbatkan ke Sam bin Nuh AS, dan terbagi menjadi 3 bagian :
Bahasa Arami, digunakan kaum Suryani dan Kildani dan disebut-sebut
sebagai bahasa yang digunakan dalam penulisan bibel lama. Bahasa Ibrani, yang
digunakan dalam perjanjian lama. [9]
Bahasa Arab, perkembangannya di
jazirah Arab hingga kedatangan islam dan ekspansi yang juga berperan dalam
penyebaran bahasa arab. Hubungan antara tiga bahasa ini ditunjukan dalam
perjanjian lama yang mengunakan bahasa Ibrani tetapi memiliki banyak persamaan
dengan bahasa Arami dan Arab. Selain perjanjian lama, bukti lainnya adalah Bani Israel yang mengembara selama 40 tahun
di jazirah arab mereka berinteraksi dengan masyarakat tanpa perantara
penerjemah atau mediator begitupun halnya dengan komunikasi yang terjalin
antara ratu Saba’ dan
Sulaiman Bin Daud AS.
Pembahasan perihal ontologi bahasa tentu membahas keadaan masyarakat dan struktur
bahasa yang berkembang pada zamannya, dan dalam masalah ini penulis
mengklasikasikan eksplorasinya dalam beberapa problematika -yang berhubungan
dengan stuktur yang berkembang diantara bangsa Arab itu sendiri- dengan
pendekatan fonetik, gramatikal dan vokabularis. Tiga hal tersebut merupakan
tiga unsur yang paling berpengaruh dalam standardisir linguistik[10].
Oleh karena demikian penulis memaparkan 5 problematika yang mewakili :
a. Vokabularis yang mempunyai
kedekatan huruf dan makna sejatinya berasal dari satu kata yang mengalami
beberapa perubahan, hal ini disandarkan kepada dua bagian dari sintaksis bahasa
Arab yakni al ibdal dan al qlab. Al Ibdal adalah
pergantian huruf dalam tatanan kata contoh : bataka dan basyaka,
battsa dan bassya , nabaja dan nabaha . Al
qalb adalah pergeseran posisi dalam tatanan kata, sampel : lathama
dan lamatha, jadzaba dan jabadza, sakaba dan
sabaka tidak ada perubahan huruf disini tetapi hanya perubahan
posisi kata pada huruf kedua dan ketiga
dan sedikit terjadi pada huruf pertama.
b.
Vokabularis yang
menunjukan makna benda lainnya merupakan bentuk penyederhanaan. Kata yang dimaksud adalah huruf dalam afiks dan konfiks, yang
tidak mempunyai makna sendiri tapi memberikan perubahan makna bila ia disatukan
dengan kata. Dalam hal ini problematika yang kedua tidak banyak memasuki ranah
bahasa Arab yang tertulis tapi banyak memasuki ranah lisan, melihat beberapa
tujuan yang diberikan seperti
penyederhanaan kata dan menyingkatkan waktu dalam pengucapannya, sampel : ambakul yang bermaksud akhudzu fi al-akli ala
istimrar.
c.
Vocabularis
yang menganduk makna individual terbentuk
dari dua fona. Kaedah tersebut diambil
penulis dengan mengeksplorasi kata kerja dan beberapa kata yang menyerap dari
bahasa lainnya. Diantara contohnya adalah kata : qathaba, qathafa,
qatha’a, qathama, qatala semua kata tersebut berasal
dari dari dua fona yakni qhata dan
semuanya mempunyai arti yang sama secara global yakni memotong. Sedang
demikian halnya dengan kata yang merupakan penyerapan dari bahasa lainnya
seperti : falsafa yang diserap dari bahasa yunani philosofia yang
terdiri dari philia yang berarti kecintaan, kegemaran dan sofia yang berarti
bijaksana.
d.
Seluruh
Vokabularis dapat dirujukan pembentukannya dari satu fona. Untuk menjelaskan
permasalahan ini penulis mengambil kata penghubung dan pronominal sebagai
sampel penjelasan. Seperti halnya pada kata anta, anti, antuma,
antum, antunna berasal dari satu fona yaitu huruf ta,
dan huwa, hiya, huma, hum, hunna, berasal dari huruf ha,
begitupun yang terjadi pada ismu isyarah seluruhnya berasal dari huruf dza.
e. Sense Organ merupakan pemaknaan murni dari rangkaian kata adapun
makna yang tersirat terbentuk darinya. Pemaknaan yang dihasilkan dari rangkaian
kata terbagi menjadi dua yaitu makna yang tersirat dan tersurat, sesuai dengan
kaedah diatas penulis meyakini bahwa makna sesungguhnya adalah makna yang
tersurat adapun makna yang tersirat adalah cabang dan bagian dari makna yang
tersurat tersebut. Contoh : ru’yah yang dapat diartikan sebagai
penglihatan panca indera(mata) atau mimpi
maka dalam hal ini penglihatan panca indera merupakan makna asli dari ru’yah.[11]
Dari ulasan sebelumnya dapat diambil
kesimpulan bahwa bahasa Arab terbentuk dari huruf-huruf sederhana dan penggalan
kata-kata yang berkembang hingga memberi makna yang beragam, dan bahasa
terlahir dari perbincangan yang merupakan bentuk interaksi dan komunikasi,
sedangkan dalam proses interaksi ini manusia mengalami beberapa fase sebelum
benar-benar mengucapkan kata seperti sekarang ini diantara fase yang dilalui
manusia adalah : fase pra pengucapan
kata dan fase pengucapan kata, dalam fase pertama manusia menggunakan isyarat
sebagai alat komunikasi lalu berkembang ke fase fonem sebelum memulai fase pengucapan kata.
Hal ini juga selaras dengan yang diutarakan
Mariobay dalam bukunya Ususu Ilmu Lughah yang diterjemahkan oleh Ahmad
Mukhtar Umar, dalam bukunya beliau menjelaskan kendati kita tidak dapat menjangkau kepastian
permulaan dan bagaimana bentuk gambaran kalimat yang diucapkan pertama kali
akan tetapi tidak dapat dipungkiri urgensi komunikasi antara masyarakat dalam
hal ini tentu mengalami fase, diantaranya adalah fase yang disebutkan
sebelumnya.
Tradisi
Bangsa Arab yang selalu berpindah-pindah, merupakan salah satu mediator
penyebaran bahasa. Tradisi ini didorong oleh keadaan: gurun pasir yang tandus
menyebabkan mereka harus bersahabat dengan alam. Tabiat bangsa arab yang keras
bahkan sering perang, hasil peperangan yang dijadikan sandra bahkan diperbudak,
tentu menjadi sarana penyebarannya. Selain itu,
perniagaan yang rutin mereka adakan membuat pasar menjadi medan
pertemuan dan akulturasi budaya. Selain mekah, pasar adalah medan utama
perkumpulan kabilah-kabilah arab.[12]
Selain pedagang, penyair menghidupkan suasana pasar dengan beragam syairnya.
Baik berupa pujian, ratapan, bahkan hinaan.
C. Zuhair dan
syairnya.
Syair yang
kita pelajari sejatinya memiliki 4 substansi inti. Sebagai fakta sejarah,
kehidupan masa lalu tentu tidak hanya berisi hal-hal yang baik tapi juga
peristiwa pahit. Selain itu, syair juga dianggap sebagai dalil; yang menguatkan
suatu argumen atau menolaknya. Demikian kehidupan bangsa arab pada zaman
jahiliyah dapat ditangkap dalam syair-syair peninggalanannya. Sejatinya syair
tersebut tidak sesempit yang kita terima sekarang. Beribu-ribu syair pada zaman
jahiliyah hilang tertelan masa. Eksistensi penyair dan kehebatannya ditentukan
oleh syairnya. Begitupun sebaliknya, eksistensi syair yang dikodifikasi karna
kemasyhuran empunya. Dua simbiosis mutualisme yang merekat sepanjang sejarah.
Jahidz
mengklasifikasi keunggulan penyair kedalam 4 bagian : golongan pertama penyair
elite, penyair semi elite, penyair biasa, dan semi penyair. Yang dimaksudkan dalam golongan pertama dan kedua adalah para tokoh yang masyhur
dikabilah arab. Hal yang membedakan keduanya adalah golongan pertama meriwayatkan syair sedang
yang kedua mengumpulkan syair.[13]
Beberapa
ulama meneliti pembentukan syair pada mulanya hingga perkembangannnya yang
tematik. Bangsa arab yang mengembangkan bahasa arab dalam bentuk prosa. Dari
hanya sekedar perbincangan atau catatan biasa kemudian kembali diolah menjadi
sebuah bentuk sajak bebas yang simpel. Keindahan irama yang dilanturkan menarik
perhatian masyarakat. Respon yang demikian kemudian memicu untuk mempelajari
dan mengembangkannya hingga kemudian terbentuklah sajak awamatro.
Perkembangannya kemudian tidak hanya sampai disitu saja, pemerhati syair
kembali berlomba-lomba untuk mengembangkannya dan menciptakan hal-hal yang baru
hingga lahirlah kasidah-kasidah.
Hingga
pada abad ke 5 masehi muncullah syair-syair yang saat itu sudah mulai disusun
dalam tema-tema tertentu. Diantara tema tersebut adalah: pujian, rintihan, heroik, dan hinaan. Syair
dapat digolongkan kedalam 3 jenis: syair liris, historis dan dramatik.[14]
Meski syair dibentuk dan disusun, tapi unsur perasaan dan intuisi adalah titik
tolak dari penyair di zaman jahiliya. Seperti halnya, Khansa’, seorang penyair jahiliyah, yang terkenal
dengan syair-syair lirisnya. Syair-syair
yang disusunnya selalu berupa sebuah rintihan. Hal demikian karena ia kedua
saudaranya yang wafat dalam peperangan. Sebelumnya, Khansa hanyalah wanita
biasa di kabilahnya. Pasca wafat saudaranya ia mengucakan 2 bait syair sebagai
ungkapan rintihan atas apa yang dialaminya. Kabilahnya seakan menemukan harta
karun yang terpendam. Dari basis inilah syairnya kemudian berkembang, tapi
seluruh syairnya tidak bisa terlepas dari rintihan dan ratapan. Khansa kemudian
terkenal dengan syair lirisnya sebelum ia masuk islam.
Sedangkan
keadaan Zuhair yang tumbuh dikeluarga penyair merupakan sarana yang
memfasilitasi untuk mendalami syair. Bahkan ketika ia bertanya kepada pamannya
kenapa ia harus menjadi seorang penyair, sang paman , Basyamah, menjawab karna
kamu mewarisinya dari bani Muzaynah. [15]Syair
bukanlah harta ataupun materi, warisan yang dimaksud adalah kemampuan dan
basis-basis yang harus dikembangkan Zuhair.
Basyamah,
sebagai seoarang tokoh yang terkenal dalam kabilahnya, bahkan pemuka kaumnya
selalu meminta pendapatnya terutama ketika hendak berperang.Dengan demikian, ia
selalu menghasilakan materi yang sama besarnya dengan pemuka kaumnya yang ikut
dalam berperang. Sifatnya yang bijak dan dermawan, membuat pengolahan harta
tersebut berarti, jauh dari foya-foya. Sifat-sifat demikian juga diwarisi
zuhair yang menghiasi syair-syairnya. Hingga akhirnya ia menjadi salah satu
ulama sebagai al-Mu’alaqat.
Selain
ibunya, dua wanita lain yang mempengaruhi syair yang disusunnya adalah ummu
aufa dan ummu kabasyah. Ummu aufa
adalah wanita pertama yang mendampinginya, bahkan namanya menjadi kata pertama
dalam pembukaan syairnya yang terkenal. Darinya Zuhair memiliki beberapa anak
akan tetapi semuanya meninggal, lalu ia menceraikannya. Meski akhirnya ia
menyesali perceraian tersebut, tetapi ummu aufa menolak untuk kembali
kesisinya. Sedangkan wanita kedua yang ia nikahi adalah Kabasyah, dari bani
Ghatafan. Pernikahannya kali ini memberikannya 3 putera: Ka’ab, Bujair dan Salim, ketiganya
adalah penyair. Bahkan kasidah Ka’ab yang memuji nabi selalu diriwayatkan hingga dibukukan.
Selain
anak-anak kandungnya, ia juga memiliki seorang murid yaitu Khatiyah. Selain
seorang penyair, ia juga ahli riwayat. Khatiyah meriwayat syairnya dan juga
penyair dizamannya. Ia mengajari mereka untuk membaca dan memahami syair, hingga
pada akhirnya mereka mampu untuk mandiri. Ketika meminta mereka untuk memahami dan membacakan
syair,sebenarnyanya ketika itu ia sedang menguji kemampuan mereka. [16]
Zuhair
memiliki karakteristik yang tidak pernah dimiliki penyair sebelum ataupun
sesudahnya, yaitu ia menggunakan waktu satu tahun untuk menghasilkan satu
kasidah, hingga akhirnya kasidah tersebut terkenal dengan nama al-hauliyat.[17]
Ulama berbeda pendapat tentang jumlah al-hauliyat yang dihasilkan
Zuhair, beberapa mengatakan 4 dan sebagian yang lain 7. Diantara al-hauliyat
tersebut bercerita tentang perdamaian yang terjadi diantara bani Dzubyan dan
bani Abbas. Zuhair bermukim dan berinteraksi dengan bani Ghatafan. Sehingga
banyak mengalami enkulturasi. Terutama dalam syairnya. [18]
Bani
Dzubyan dan bani Abbas adalah dua kabilah yang bertetangga. Hubungan diantara
mereka terjalin sangat baik, hingga akhirnya perselisihan itu berawal dari
perbuatan Warad bin Habis, bani Abbas, membunuh Harim bin Damdam. Saudaranya,
Husein bin Damdam, mendengar kabar kematian tersebut membuat sebuah janji ; Ia
tidak akan mencuci rambutnya hingga ia dapat membunuh Warad bin Habis. Husein
bertemu dengan seorang laki-laki ia bertanya tentang nasab seseorang yang ada
didepannya. Ketika nasab lelaki tersebut sampai ke Abbas, ia membunuhnya. Kabar
tersebut berhembus ke bani Abbas, dan mereka ingin membalas dendam.
Harits
yang mendengar kabar tersebut mengirimkan 100 unta beserta anaknya ke bani
Abbas. Seiring membawa sebuah pesan perdamaian. Bani abbas diminta untuk
memilih antara anaknya atau 100 unta. Apabila mereka memilih untuk mebunuh
anaknya berarti perseteruan akan terus berlanjut. Adapun unta adalah diyah
untuk kaumnya yang terbunuh dan sebagai tanda perdamaian . Bani Abbas memilih
unta. [19]
Harits bin
Auf adalah pemuka kaum yang juga masih keturunan bani Dzubyan. Diriwayatkan Hasan bin Ali, Harits bin Auf
meminang puteri Aus bin Haritsah, lamaran tersebut ditolak. Ketika Aus bin Haritsah
menemui dengan istrinya, seorang keturunan bani abbas, istirnya bertanya :
siapakah orang yang bertemu denganmu tadi? Aus menjawab : seseoarang yang
berpura-pura bodoh dan melamar putri kita. Ia berkata demikian karna mereka
masih berhubungan dengan bani abbas yang ketika itu masih bersiteru dengan bani
dzubyan. Lalu istrinya bertanya : apakah engkau akan menikahi puterimu? Aus menjawab : tentu, dengan seorang
pemuka kaum. Lalu istrinya menjawab: bukankah Harits bin Auf adalah seoarang
pemuka kaum. Istrinya kemudian berlapang dada dan meminta Aus bin Haritsah
untuk menerima lamaran tersebut.
Aus bin
bin Haritsah kembali menemui Harits bin
Auf. Puteri pertama dan kedua Aus menolak untuk menikah dengan Harist, hingga
akhirnya Bahisah binti Aus, puteri bungsunya, bersedia untuk dijadikan istri.
Melihat ketegangan yang terjadi antara bani Abbas dan bani Dzubyan, Bahisah
binti Aus mensyaratkan perdamaian antara bani Dzubyan dan bani Abbas sebelum ia
benar-benar menikah. Harits bin Auf
dalam mendamaikan diantara kedua kaum tersebut dibantu oleh Harim bin Sanan. Pengorbanan keduanya unuk
mendamaikan antara kedua kabilah tadi menghabiskan kurang lebih 3000 unta. [20]
Pengorbanan
yang dilakukan kedua pemuka kaum ini, menjadi sorotan utama Zuhair dalam al-hauliyatnya.
Yang diawali dengan bait :
أٌمن أٌم أوفي دمنة
لم
تكلم
# بحومانة الدراج فالمتثلم
Dalam terjemah bebas dapat diartikan :
“Apakah Ummu aufa meninggalkan
serpihan kenangan dalam jejaknya di reruntuhan Haumanat Daraj dan Mutatsalim?”
Ummu
aufa seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah istrinya.
Sedangkan Haumanat Daraj dan Mutasalim adalah kedua tempat yang umumnya
digunakan kabilah istrinya untuk bermukim. Dengan tradisi bangsa arab yang berpindah-pindah
pemukiman, kedua tempat tersebut ketika itu hanya berisi puing-puing sisa
peninggalan jejak kabilah. Syair diatas adalah ungkapan perasaannya terhadap ummu
aufa, kerinduannya yang hanya bisa dinikmatinya dengan kenangan. Penyair pada
zaman jahiliyah umumnya menggunakan syair –syair cinta dalam bentuk kerinduan
ataupun pujian terhadap orang yang dicintainya sebagai pembukaan dalam syairnya
sebelum masuk pada pembahasan inti. Penyair meyakini hal tersebut dapat
dijadikan sebagai umpan untuk menyorot perhatian masa. Untuk menyempunakan
syair tersebut tentu menyebutkan kenangan-kenangan yang pernah terjalin antara
keduanya, baik tempat ataupun keadaan.
Setelah beberapa
bait awal dari al-hauliyat ini sebagai pembuka, penyair memulai bagian
inti yan diinginkannya yaitu memuji Harim bin Sanan dan Harits bin Auf.
سعي
ساعيا
غيظ
بن
مرة
بعدما
# تبزل
ما
بين
العشيرة
بالدم
“Keturunan Ghaydz bin Murroh berusaha untuk
memperbaiki keadaan yang menumpahkan darah dari keduanya”
Yang
dimaksud keturunan Ghaydz bin Murroh adalah Harits bin Auf dan Harim bin Sanan.
Keduanya bila diambil nasabnya mereka akan bertemu di Ghaydz bin Murroh. Bait
tersebut adalah permulaan bait yang memuji keduanya. Selain pujian terhadap
kedua tokoh tersebut, al-hauliyat Zuhair juga berisi tentang ikatan
janji perdamaian antara bani Abbas dan bani Dzubyan. Selain itu, ia juga
menjabarkan perihal perang, dan akibat
buruk yang dibawanya. Serta petuah-petuah dan nasehat yang bijak.
Kecakapan
Zuhair dalam syairnya membuat lawannya segan dan takut padanya. Harits bin
Waqro, seorang keturunan Assad, pernah berusaha untuk menganiayanya. Ia mencoba
merampas unta dan hamba-hambanya. Zuhair berjanji bila ia mengambil hewan dan
hambanya, ia akan mengungkapkan penghianatan yang dilakukan bani Asad dalam
perjanjian yang pernah dibuatnya. Ketakutan akan dibenci oleh kabilahnya
memaksanya untuk mengembalikan unta dan hamba-hamba Zuhair. Begitulah peranan
syair yang luar biasa dalam bangsa Arab. Seseorang yang mulia biasa berubah menjadi hina dimata
kaumnya dengan syair, begitu sebaliknya. [21]
Harim bin
Sannan adalah seseorang yang hampir belum pernah dipuji sebelumnya. Setelah
Zuhair menyebutkannya dalam al-Hauliyat ia menjadi sosok yang digaungi
namanya, dituruti perintahnya bahkan terkenal di kabilah-kabilah lainnya.
Begitu banyak syair Zuhair yang memuji Harim bin Sanan. Kedekatan antara
keduanya membuat Harim tidak segan-segan selalu memberikan hartanya, untanya,
hingga hambanya kepada Zuhair. Bahkan Umar bin Khatab pernah meminta bani Harim
untuk melafalkan syair-syair pujian Zuhair untuk Harim bin Sanan. Ketika Umar
ditanya Bani Harim, keistimewa dari syair tersebut, ia berkata : “Harim bin
Sannan hanya memberikan sesuatu yang telah punah, tapi Zuhair membalasnya
dengan sesuatu yang tidak akan punah”.
Kendati
Zuhair bermukim dengan Bani Dzubyan yang menyembah al-uzzah,[22]
zuhair mempunyai keyakinan tersendri perihal agama. Ia meyakini akan ada
nabi yang diutus, dan ia juga mengimani Allah maha melihat dan janji Allah
pasti terjadi. Hal itu diutarakan dalam syairnya:
فلا تكتمن
الله ما في نفوسكم
# ليخفى, و مهما يكتم الله يعلم
يؤخر,
فيوضع
في
كتاب,
فيدخر # ليوم الحساب, أو يؤجل
,فينقم
D. Syair Zuhair dalam al-Mu’alaqat
Al-mu’alaqat
adalah kumpulan syair-syair pilihan dari penyair yang cakap. Syair-syair ini kemudian
didendangkan di ka’bah, sebagai apresiasi atas keindahan dan kecakapan penyair
dalam menyusunnya. Sering diperdengarkan membuat bangsa Arab mudah menghapala Al-mu’alaqat,[23].
Hammad, seorang ahli riwayat Daulah Umawiyah, sosok pertama yang mengumpulkan
kembali Al-mu’alaqat.
Beberapa
perbedaan antara para tokoh perihal al-mu’alaqat :Pertama, Perbedaan
jumlah dan anggotanya, Abu Zaid Al-Qursyi menyebutkan mereka berjumlah 7 orang
diantaranya: Imraul Qais, Zuhair bin Abi
Sulma, Labid bin Rabiah, Amru bin Kaltsum, Tharafah bin Abd, dan Harits bin
Hilizah. Sedangkan Abu Ja’far al-Nuhas
mengatakan bahwa mereka berjumlah 9 dengan menambahkan Abid bin Abrash
dan Al-A’sya. [24]
Kedua, Pebedaan pendapat perihal penulisannya hingga penggantungannya sebagai
penutup ka’bah. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa al-mualaqat ditulis dengan
tinta emas, bahkan digantung di dinding ka’bah. Pendapat tersebut ditolak oleh
Abu Ja’far menolak perihal penggantungannya di dinding ka’bah. Meski ada
beberapa tokoh yang mengamini penggantungannya, akan tetapi mereka berselisih
mengenai tempat penggantungannya. Al-mu’alaqat tidak digantung di
dinding ka’bah akan tetapi di lemari kerajaan.
Meski
banyak perbedaan perihal al-mu’alaqat,
para penyair dan ahli riwayat menyepakati diantara 3 penyair paling
unggul adalah Imraul Qais, Zuhair bin Abi Sulma, dan Nabighah Dzibyan.
Selanjutnya, perbedaan sosok yang lebih unggul, dari yang lain, diantara ketiga
penyair ini terus berlanjut.
Imraul
Qais adalah Handaj bin Hajar bin Harits
bin Umar bin Hajar bin Amru bin Muawiyah bin Tsaur bin Murrah. [25]
Diantara panggilannya adalah Dzu al quruh dan Imraul Qais. Kehidupannya bergelimang harta telah
melenakannya. Ia selalu berfoya-foya dan bersenang-senang dengan sahabatnya.
Ayahnya adalah seseorang yang memegang kepercayaan untuk memimpin daerah
yang ditempati Bani Asad. Sosok pemimpin
yang kejam, hingga akhirnya bani Asad memberontak dan membunuhnya.
Ketika itu Imraul Qais sedang dalam pelarian
karena tidak mengindahkan perintah ayahnya. Dalam perlariannya, ia berpindah
dari satu kabilah ke kabilah lain hanya untuk bersenang senang. Ketika ia masih
meminum arak bersama teman-temannya, ia mendapatkan kabar kematian ayahnya. Ia
lalu bersumpah untuk tidak mencuci rambutnya hingga dapat membalaskan
dendamnya. Berbasis kesenangan dan hobinya untuk bermain kuda. Selain
syair-syair berupa ancaman, ia juga pandai mendeskripsikan baik hewan ataupun
manusia. Imraul Qais terkenal dengan
syair deskriptif etik.
Untuk
membalaskan dendamnya ia meminta bantuan pada kabilah-kabilah arab. Minimnya
bantuan dari mereka membuatnya lari meminta bantuan hingga kostantinopel. Karna
lelihaiannya dalam syair, raja kostantinopel
mengirimkan pasukan dalam jumlah besar untuk membantunya. Akan tetapi
sebelum sempat membalaskan dendamnya ia sakit dan wafat dalam perjalanan
tersebut.[26]
Ziyad bin
Muawiyah bin Dibab bin Jinab bin Yarbu’ bin Murrah bin Auf bin Saad bin Dzubyan
bin Raits bin Ghatafan bin QaisAyalan bin Mudlar.[27] Panggilannya
adalah Abu Yamamah dan Nabighah. Perbedaan pendapat perihal sebab
pemanggilannya. Diantaranya menyebutkan karna salah satu syairnya dan lainnya
memberikan alasan karna kepandaiannya dalam menyusun Syair.
Nabighah
dengan kelihaiannya dalam bertutur kata mudah berinteraksi terutama dengan para
raja. Kedekatannya dengan Nu’man bin Mundzir, seorang raja, membuat
kehidupannya bergelimang harta dan kemewahan. Kedekatan tersebut mengundang
kecemburuan, hingga muncullahadu domba antara keduanya. Diantara hasutan
yang dibisakan ke Nu’man bin Mundzir
adalah perasaan Nabighah terhadap istrinya. Hal ini membuatnya marah, dan
berjanji untuk membunuh Nabighah.
Nabighah
yang mengetahui hal tersebut menyelamatkan diri. Ia melarikan diri ke kabilah bani
Ghasan. Ia kembali dekat dengan pemuka kaum tersebut, yaitu Amru bin Harits.
Meski ia selalu bermukim dengan Amru, ia tidak melupakan sahabat lamanya. Dalam
beberapa syairnya ia masih selalu mengagungkan Nu’man dan memohon maaf darinya. Nabighah terkenal
dengan syair-syair yang berisi pujian.
Epilog
Diantara
ketiga tokoh yang disebutkan diatas, Qudamah bin Musa dan Ahnaf bin Qais
mengedapankan Zuhair dari yang lainnya. Akan tetapi Jahidz lebih mengutamakan
Nabighah daripada Zuhair. Jahidz berpendapat bahwa proses yang dibutuhkan
Zuhair untuk melahirkan syair adalah masa yang terlalu lama. Demikian juga
syair-syairnya yang tidak pernah didendangkan diantara para raja-raja bangsa
arab. Berbeda dengan Zuhair yang syairnya selalu diperdengarkan di pesta-pesta
dan perkumpulan Raja. [28]
Diantara
sosok yang mengagumi Zuhair adalah Sayidina Umar bin Khatab. Dalam perjalanan
ke Jabiyah ia meminta Ibnu Abbas untuk diperdengarkan syair Zuhair. Ketika ibnu
Abbs menanyakan kenapa ia menyebutnya sebagai Syair Syuara, Sayidina
Umar menjawab : “Dia (zuhair) tidak berkepanjangna bagai agam, menghindari
penggunaan kata-kata kasar, dan hanya memuji yang patut dipuji...”. Sedang
demikian Sayidina Ali bin Abi Thalib lebih menyanjung kehebatan Imraul Qais
dalam mendeskripsikan lingkungannya. Pembahasan keunggulan sejatinya adalah
nisbi.
Zuhair
berumur hampir 100 tahun dan wafat 2 tahun sebelum nabi diutus menjadi Rasul.
Sebelum wafat ia sempat bermimpi akan kedatangan seorang Rasul. Ia mewasiatkan
kepada puteranya ketika saait itu tiba, mereka harus mengimaninya dan mematuhi
ajarannya.
Daftar
Pusaka :
1. Bayan wa al-tabyin, Jahidz,Maktabah Al-Khaniji, Kairo.
2. Rijal al-Mualaqat al-Asyr, al
Ghalayibi Mustafa, Al-maktabah al-Asriyah, Beirut.
3. Muhadlarah fi tarikh al-adab al-jahili,
Nabawiyah, DR & Zakariya hamid abdul Fatah, DR, Universitas Al Azhar, Kairo
4. Fi Nash Jahili, Husein
Firdaus Nur Ali,DR, dkk.Universitas Al-azhar, Kairo.
5. Al-Mu’alaqat al-Asyr, al-Syanqity Ahmad Amin,Dar al-Kitab
al-Arabi, Syiria.
6. Syarh Diwan Zuhair , al-Tsa’lab Abu Abbas, Dar al-kitab
al-arobi, Beirut.
7. Al-Aghani , al-Asfahani Abu al-Farj, Dar al-Kutub al-Masriyah, Kairo.
8. Tarikh Adab al-Arab, Rafi’i Mustafa Shadiq,Maktabah Al-Nasyir.
9. Tarikh al-Adab al-Arab, Dyaif Syauqi, Daar al-Ma’arif, Kairo.
10. Tarikh al-Adab al-Arab, Ziyat Ahmad Hasan,Dar al-Nahdah,
Kairo
11. Tabaqat al-Syuara, al-Jamahi Muhamad Ibnu Salam, Daarul
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut.
12. Fushul Fi al-Adab al-Jahili, Darwis Muhjah
Muhamad Kamil,DR, Al-Azhar University, Kairo.
13. Qadaya fi Ilmu lughah, Abul Futuh Abdul Fatah, DR, Al azhar
University, Kairo
14. Al-Falsafah al-Lughawiyah wa al-Alfadz al-Arobiyah,
Zaidan George, Dar al Hilal.
[1] Dipresentasikan oleh Dian Malinda, Mahasiswi Fakultas Dirasat
Islamiyah Jurusan bahasa arab Universitas Al Azhar, Kairo.
[2] Muhamad Ibnu Salam al-Jamahi, Tabaqat al-Syuara, Beirut :
Daarul al-Kutub al-Ilmiyah, 2001 hal :27
[3] Muhjah Muhamad Kamil Darwis, Fushul Fi al-Adab al-Jahili, hal
32
[5] Mustafa Al-Ghalayini, Rijal al-Mu’alaqat al-Asyr , al-Maktabah
al Asriyah, Beirut, hal:134
[6] Abu Abbas al-Tsa’lab, Syarh Diwan Zuhair , Daar al-kitab
al-arobi, hal: 14
[7] DR. Firdaus Nur Ali Husein , dkk. Fi Nash Jahili hal 111
[8] Mustafa Shadiq Rafi’i, Tarikh Adab al-Arab, Maktabah Al-Nasyir, Cetakan pertama jilid II Hal 212
[9] George Zaidan, al-Falsafah al-Lughawiyah wa al-Alfadz al-Arobiyah,
Dar al Hilal hal : 27
[10] DR Abdul Fatah Abul Futuh, Qadaya fi Ilmu lughah,
[11]George Zaidan, al-Falsafah al-Lughawiyah wa al-Alfadz al-Arobiyah,
Dar al Hilal hal 59
[12] Ahmad Hasan Ziyat, Tarikh al-Adab al-Arab, dar al-Nahdah, Kairo hal : 30
[13] Jahidz, Bayan wa al-tabyin, Maktabah Al-Khaniji, Jilid I, hal 9
[14] Ahmad Hasan Ziyat, Tarikh al-Adab al-Arab, hal : 30
[15] Mustafa Shadiq Rafi’i, Tarikh Adab al-Arab, Maktabah Al-Nasyir, Cetakan pertama jilid II Hal
[16] Syauqi Dyaif, Tarikh al-Adab al-Arab, Daar al-Ma’arif, 2003,
jilid I hal 300
[17] Al-hauliyat adalah nama yang diberi untuk syair Zuhair. Al-haul
berarti setahun. Demikian karena Zuhair memerlukan waktu setahun untuk menyusun
Syairnya.
[18] Mustafa Shadiq Rafi’i, Tarikh Adab al-Arab, Maktabah Al-Nasyir, Cetakan pertama jilid II Hal
[19] Abu Abbas al-Tsa’lab, Syarh Diwan Zuhair , Daar al-kitab
al-arobi, hal 26
[20] Abi al-Farj alAsfahani, Al-Aghani, Dar al-Kutub al-Masriyah,
Kairo, jilid X hal 288
[21] Syauqi Dyaif, Tarikh al-Adab al-Arab, Daar al-Ma’arif, 2003, jilid I
hal 310
[22] Periwayat berbeda pendapat perihal al-uzzah, diantaranya menyebutkan
sebagai pohon, ada juga yang mengatakan al-uzzah adalah berhala disekitar
ka’bah. Beberapa juga menyebutkan
bahwa pohon-pohon yang mengelilingin berhala paling besar disekitar ka’bah.
[23] Mustafa al Ghalayibi, Rijal al-Mualaqat al-Asyr, Al-maktabah
al-Asriyah, Beirut hal 59
[24] DR Nabawiyah & DR Zakariya hamid abdul Fatah, Muhadlarah fi
tarikh al adab al jahili, hal 198
[25] Ahmad Amin al-Syanqity, Al-Mu’alaqat al-Asyr, Dar al-Kitab
al-Arabi, Syiria, hal 2
[26] DR. Firdaus Nur Ali Husein , dkk. Fi Nash Jahili hal 33
[27] Ahmad Amin al-Syanqity, Al-Mu’alaqat al-Asyr, Dar al-Kitab
al-Arabi, Syiria, hal 52
[28] Jahidz, Bayan wa al-tabyin, Maktabah Al-Khaniji, Jilid II hal
13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar